Tag Archives: emosi

Teknik Konseling Rational Emotiv Terapi

25 Nov

1. Pandangan Hakekat Manusia Menurut Teori Rasional Emotive Terapi
Albert Ellis dalam Rosjidan (1994) merumuskan siapa manusia itu, dalam hal ini ada delapan hal pokok, yang secara ringkas dikemukakan sebagai berikut:
a. Manusia adalah makhluk yang berpotensi.
Ellis dalam Rosjidan (1994) berpendapat bahwa, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang potensial. Sebagai makhluk yang berpotensi, manusia memiliki dua kekuatan yaitu pola pikir rasional dan irasional. Tendensi kemanusiaan pada prinsipnya berasal dari dua kekuatan tersebut, seperti tendensi kehidupan manusia berupa kebahagiaan, kesejahteraan, pemeliharaan diri (self-preservation), kasih sayang, pikiran, verbalisasi, hubungan baik dengan orang lain, pertumbuhan dan perkembangan, serta aktualisasi diri, secara esensial bersumber pada potensi berfikir rasional.
Sebaliknya tendensi-tendensi yang merusak diri (self-defeating), penolakan terhadap diri, penundaaan, sering membuat kesalahan, kesedihan, ketidaksenangan, takhayul, intoleran, menyalahkan diri (self-blame), dan gejala-gejala lainnya yang mengganggu potensi aktualisasi diri semuanya bersumber pada kekuatan berfikir yang tidak logis, irasional yang dikuasai oleh gangguan emosional.
b. Manusia adalah makhluk berfikir, merasa dan berbuat.
Manusia normal siapapun akan berfikir, merasa, dan berbuat. Ketiganya akan saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan satu-satu, karena merupakan suatu kesatuan. Pikiran manusia mempengaruhi perasaan dan perilakunya, sedangkan perilaku manusia sudah jelas mempengaruhi perilaku dan perasaannya.
Ellis mengatakan bahwa berpikir rasional memerlukan kadar emosional tertentu sehingga pikirannya memberikan kesenangan, kegembiraan hidup yang pada gilirannya dapat mendorong aktualisasi diri manusia. Tetapi proses berpikir yang dikendalikan emosi akan menyebabkan efek-efek tertentu seperti terjadinya pembiasaan, prasangka, personalisasi yang tinggi, serta berfikir yang irasional atau ilogik.
c. Manusia adalah makhluk mudah kena pengaruh (cultural influencebility)
Salah satu kecenderungan bawaan manusia yang terkuat adalah mudah terpangaruh, sugestabel, dapat dibuktikan dengan melihat perkembangan sejak kanak-kanak. Kecenderungan ini terbawa hingga dewasa dengan mudahnya menerima prejudais, menerima penilaian orang lain atas dirinya dan semacamnya. Pengaruh orang tua, keluarga, masyarakat (orang dewasa lain), dan kebudayaan tersebut dapat membuat anak merasa kecil, rendah dan tidak mampu. Kesimpulan yang dibuat tentang dirinya pada hakekatnya dihayati secara logik oleh anak, karena pengaruh negatif lingkungan, akan menjadi tidak logik bila dikaitkan dengan nilai dan kemampuan yang dimiliki.
d. Perilaku verbal dan berfikir manusia.
Perilaku verbal dan berpikir senantiasa dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol atau bahasa. Berfikir, baik logik maupun tidak logik, dilakukan dengan memakai simbol atau bahasa. Dengan bahasa manusia bisa mengatakan kepada dirinya tentang apa yang ia pikirkan. Bila mana proses berfikir didominasi oleh emosional maka perilaku verbal pun akan menjadi tidak logis. Dengan demikian akan terjadi komunikasi dengan simbol bahasa yang keliru.
e. Sumber perilaku manusia ditentukan oleh nilai atau ide-ide (pandangan).
Perilaku manusia bersumber pada dua kekuatan, yaitu berfikir rasional-irasional serta sistem nilai atau ide-ide yang di serap dan dipersepsi dunia nyata di mana manusia hidup. Sistem nilai atau ide yang rasional akan di internalisasikan oleh seseorang di dalam diriya melalui proses berfikir sehingga akan menimbulkan sistem keyakinan (belief syistem) yang rasional, yang pada gilirannya menuntun perilaku rasional yang konsisten. Sebaliknya, sistem nilai atau ide yang irasional akan diinternalisasikan oleh seseorang ke dalam dirinya melalui berfikir dan akan menimbulkan sistem keyakinan yang irasional, yang pada gilirannya akan menuntut perilaku yang irasional pula.

f. Manusia memiliki verbalisasi diri gangguan.
Gangguan emosional sebagai hasil verbalisasi diri bukan ditentukan oleh peristiwa eksternal, melainkan pandangan dan sikap seseorang tentang situasi dan hubungan antara dirinya dengan situasi. Bila mana pandangan tidak betul, maka dapat menimbulkan emosi yang negatif. Emosi yang negatif dinyatakan dalam bahasa yang secara terus menerus disuntikan pada diri sendiri, sehingga menjadi keyakinan.
g. Manusia memiliki kemampuan konfrontasi dan indoktrinasi
Manusia memiliki kemampuan untuk mengkonfrontasi sistem-sistem, nilai-nilai, ide-ide dan dapat mengindoktrinasi kembali dirinya dengan nilai-nilai, ide-ide, kepercayaan yang berbeda. Pada akhirnya manusia akan bertingkah laku sangat berbeda dari cara sebelumnya. Oleh karena manusia berfikir, merasa dan berbuat maka ia dapat mereorganisasi kembali nilai-nilai, ide-ide, kepercayaan yang tidak rasional ke berfikir yang rasional. Manusia bukanlah korban pasif karena kondisi masa lalunya.
h. Manusia adalah makhluk yang unik
Manusia adalah unik, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, memiliki kekhasan untuk menentukan dirinya sendiri. Albert Ellis dengan filosofis yang luar biasa mengatakan bahwa manusia lebih baik jangan menilai dirinya sendiri dan keberadaannya, melainkan nilailah perbuatan, tindakan,dan unjuk kerjanya agar menjadi dirinya sendiri dan bahagia.
2. Perkembangan Tingkah Laku
2.1.Perkembangan Tingkah Laku Menyimpang
Siapapun saja yang hidup di dunia selalu mendambakan kebahagiaan, sukses dalam cita-cita, tidak banyak mengalami hambatan dan gangguan, dan memperoleh segala hal yang ideal dan sempurna serta dapat diterima oleh lingkungannya. Namun kenyataannya tidak setiap orang mampu mencapainya. Ada beberapa orang yang senantiasa tidak mengalami gangguan selama hidupnya, atau sebaliknya, individu mengalami masalah tetapi mampu mengatasinya sendiri. Sebagian lainnya individu mengalami masalah tetapi tidak mampu mengatasinya sendiri, sehingga membutuhkan uluran tangan orang lain, salah satunya adalah melalui konseling.
Pernyataan di atas mengimplikasikan bahwa perkembangan tingkah laku manusia pada dasarnya berkembang menjadi dua macam, yaitu individu bebas masalah, berkembang normal, dan individu yang bermasalah, berkembang menyimpang (malasuai).
a. Gejala Tingkah Laku Menyimpang
Perkembangan kepribadian yang normal dan pokok-pokok pikiran tentang hakekat manusia merupakan titik tolak pengkategorian pribadi menyimpang atau tingkah laku bermasalah. Menurut Ellis, ia memisahkan individu yang bermasalah ynag ditunjukkan adanya gangguan emosional karena keyakinannya terhadap ide-ide rasional atau pikiran-pikiran tidak logik. Ide-ide tersebut diajarkan oleh lingkungannya (orang tua, orang dewasa, masyarakat, dan kebudayaan), sehingga ide-ide tersebut diserap dan diindoktrinasi secara terus menerus menjadi keyakinannya, akhirnya nampak pada perilakunya yang sekarang. Ellis bersama penganutnya berpendapat bahwa gejala gangguan kepribadian yang berupa neurosis atau psikosis adalah bersumber pada sikap dan cara berfikir yang irasional, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya sehingga menimbulkan gangguan emosional yang dinampakkan pada perilaku negatif berikut: (1) terlarang (inhibited), (2) bermusuhan, (3) pertahanan (defensive), (4) berdosa, (5) bermusuhan, (6) kaku, (7) cemas, (8) tidak terkontrol, dan (9) tidak bahagia. Gejala-gejala tersebut sering kali nampak pada cara individu berbicara. Misalnya, “oleh karena saya tidak menyukai perilaku saya, maka saya adalah orang yang paling jelek dan tidak berguna di mata kekasih saya”. atau pernyataan lain: “saya tidak tahan dengan sikap anda, sok pintar, yang mestinya tidak perlu bersikap demikian”. Pernyataan tersebut sebagai penampakkan tingkah laku individu yang menyalahkan diri (self-defeating), penolakan, (avoidance), penundaan (procrastination), sering membuat kesalahan (endless repetition of mistake), kesedihan dan ketidaksenangan, takhayul (superstition), tidak toleransi (intolerance), ingin selalu sempurna (perfectionism), mengutuk diri (self blame) dan menghindar dari potensi aktual (avoidance of actualizing growth potentials).

b. Faktor-Faktor Penyebab
Neurosis diidentifikasi sebagai pikiran dan perilaku yang irasional, dengan gejala-gejala yang menampak dan dapat timbul karena penyebab pokok berikut ini:
1) Kecenderungan umum individu berfikir dengan tidak jujur (croodly), merasa tidak tepat dan bertindak secara tidak fungsional, yang umumnya merupakan unsur bawaan.
2) Kecenderungan khusus individu yang bertindak merusak diri sendiri.
Kedua penyebab pokok masalah tersebut di atas, tidak lain merupakan ide-ide irasional atau ilogik yang sekaligus merupakan penyebab utama timbulnya masalah. Nelson yang dikutip oleh Rosjidan (1994) merincikannya sebagai berikut:
a. Tuntutan selalu dicintai dan didukung, bahwa seseorang yang hidup ditengah-tengah masyarakat mau tidak mau setiap saat dapat dicintai dan ditolak oleh siapa saja di sekitarnya. Pandangan irasional ini tidaklah memungkinkan dapat dicapai oleh setiap saat dapat dicintai dan ditolak oleh siapa saja disekitarnya. Pandangan irasional ini tidaklah memungkinkan dapat dicapai oleh setiap individu. Tetapi individu selalu mengharapkan untuk dicintai dan dihargai orang lain.
b. Tuntutan kompetensi secara sempurna, bahwa seseorang yang hidup di masyarakat luas haruslah kompeten secara sempurna, memadai, dan bisa mencapai segala hal yang layak dan berguna. Pandangan irasional ini membawa individu ke arah kecenderungan kecemasan dan ketidaksempurnaan. Tidak ada seorangpun di dunia yang kompeten sepenuhnya dan serba bisa dalam segala hal. Tetapi kenyataannya ada individu yang ingin dirinya lebih dari orang lain, akhirnya ia cenderung menjadi other directed (keterarahan menurut orang lain) dan bukan self-derected (keterarahan menurut dirinya sendiri). Tidak semua orang memiliki kontrol diri yang sempurna, sekalipun terhadap bidang-bidang yang terbatas. Akibatnya pemikiran yang berlebihan tersebut dapat membuahkan rasa takut dan gagal yang luar biasa.
c. Tuntutan menghukum orang lain, banyak orang yang hidup masyarakat itu tidak baik, merusak, jahat ataupun kejam dan karena itu patut disalahkan, dan dihukum setimpal dengan dosanya atau kesalahannya. Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia “membuat kesalahan”, namun dengan hukuman tidak akan mampu merubah tingkah laku orang tersebut.
d. Ketidaksenangan atas kejadian yang tidak diharapkan, bahwa kehidupan manusia senantiasa dihadapkan ke berbagai kemungkinan malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan, mau tidak mau harus dihadapkan dalam bahtera hidup. Padahal kenyataannya, tiadalah kehidupan bakal berubah menjadi sebuah taman bunga, realita kehidupan tidaklah merupakan segala sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang, bahkan orang mungkin sadar akan hal ini. Untuk mengatasi hal itu semua, bukannya kita memandang sesuatu kejadian sebagai bencana, melainkan mencoba mengubah kejadian atau situasi-situasi tersebut untuk diterima sebagai kawan. Tidak logis merenungi kejadian hidup yang sudah digariskan sehingga membuat kita frustrasi.
e. Tuntutan penyebab eksternal, bahwa ketidakbahagiaan seseorang muncul karena tekanan dari luar (eksternal) sedangkan individu mempunyai kemampuan yang sedikit sekali untuk mengontrol perasaannya atau menghilangkan perasaan depresi atau yang bertentangan. Tidaklah benar anggapan seseorang tentang ketidakberhasilan karena faktor dari luar, melainkan pandangan orang itu sendiri terhadap ketidakberhasilannya.
f. Perhatian kepada hal-hal yang berbahaya, bila ada peristiwa yang berbahaya atau menakuti, maka individu harus berusaha keras untuk menghadapi dan mengatasi bencana yang menakutkan. Keharusan untuk mengatasi pandangan yang irasional itulah sulit ditentukan parameternya bagi setiap individu.
g. Lari dari kesulitan dan tanggung jawab, bahwa seseorang lebih mudah menjauhi kesulitan-kesulitan dan tanggung jawab diri daripada berusaha menghadapi dan menanganinya hanya untuk menghargai bentuk disiplin diri (self-dicipline). Seseorang tidaklah cukup mampu memecahkan masalah hanya dengan menghargai masalah tersebut.
h. Keharusan bergantung, anggapan bahwa seseorang harus bergantung kepada orang lain atau mutlak memerlukan orang lain yang lebih kuat. Pandangan irasional bagi seseorang akan membawanya menjadi orang yang kurang percaya diri.
i. Kebahagian bukan didapat dari kemalasan, bahwa individu akan mencapai kebahagiaan hidup melalalui kemalasan (inertia).
j. Melebihkan kontrol masa lalu, bahwa peristiwa masa lalu bagi kehidupan seseorang menentukan perilaku sekarang dan tidak dapat diubah. Orang yang berpaling terlalu kuat pada masa lalunya sebagai penentu tingkah laku sekarang sering kali menjadikan masa lalu sebagai alasan untuk tidak berubah.
k. Terlalu peduli atau hanyut ulah orang lain, bahwa seseorang seharusnya merasakan kesedihan karena problem orang lain. jika seseorang terlalu cemas atas masalah orang lain, maka masalah tersebut akan menjadi masalah bagi dirinya sendiri.
l. Tuntutan jawaban persis atau suatu masalah, percaya bahwa seseorang selalu menjawab dengan tepat terhadap setiap problem, artinya setiap orang harus mampu mengatasi segala problem. Pencarian atas jawaban yang sempurna bagi kehidupan atau masalah manusia maka dirinya akan menjadi frustrasi. Tiada pemecahan yang sempurna terhadap suatu masalah dan tak satupun cara yang bisa memberikan jawaban yang tepat. Sudah kodrat manusiawi bahwa kesalahan itu ada bagi setiap orang. orang belajar dari berbuat salah dan berusaha mencari pemecahan yang sempurna.
Berdasarkan pandangan irasional, dapatlah ditemukan tendensi tingkah laku individu malasuai, yaitu membuat tiga tuntutan atau keharusan utama: 1) individu dituntut untuk dihargai oleh orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya dan melakukan sesuatu yang baik secara konsisten, 2) semua orang harus memperlakukannya dengan penuh perhatian dan cinta kasih pada saat yang tepat, dan 3) dunia haruslah menjadi tempat yang memudahkan dan mengasyikkan.
3. Konsep pribadi sehat atau ideal
Pribadi yang sehat atau ideal menurut konsepsi konseling rasional-emotif secara umum rumusan berhubunagn dengan tujuan konseling. Lebih lanjut rumusan pribadi sehat yaitu bila mana individu mampu menggunakan kemampuan berfikir rasional untuk memecahkan dan menghadapi masalah-masalah hidupnya secara bijak. Selain itu individu mampu memanfaatkan segala kelebihan dan keterbatasan dirinya serta mampu mengaktualisasikan diri, lebih percaya diri, dan tidak bergantung kepada orang lain serta dapat menyesuaikan diri ditengah-tengah lingkungannya. Secara implisit akan dirinci dalam tujuan konseling, yaitu adanya minat diri, arah diri, toleran, penerimaan terhadap ketertekanan, fleksibelitas, berpikir ilmiah, komitmen, tempuh-resiko, penerimaan diri, dan tidak utopia.
Rumusan pribadi sehat menurut rational-emotif terapi, secara umum, mempunyai ciri-ciri:
1) Kekuatan nalar atas emosi. Pribadi sehat dapat berfikir secara rasional mengatasi dorongan-dorongan emosional/perasaan sehingga pribadi itu dapat mengatasi masalah dan mengatasinya secara ilmiah.
2) Emosi/perasaan yang pantas (appropriate), pribadi sehat ditandai dengan adanya kontrol emosi dan perbedaan tuntutan yang tidak layak, utopia, dan mustahil.
3) Perilaku berencana, pribadi sehat dapat bertindak menuju tujuan hidup secara berencana, bertambah maju dan bukan justru mengurusi pengalaman masa lalu.
Ellis telah mengembangkan rumusan filsafat hidup atau pokok-pokok pikiran tentang hakekat manusia yang rasional berikut ini:
1) Memfokuskan self-respect dari other-respect.
2) Ketidakbahagiaan individu bukan karena sebab peristiwa atau kejadian, melainkan pandangan individu terhadap suatu peristiwa.
3) Tindakan yang dilakukan oleh seseorang jangan dipandang buruk, salah, cela, melainkan pandanglah seseorang itu karena terganggu psikologisnya.
4) Seharusnya seseorang berusaha mengubah untuk menjadi orang lain dan lebih baik menelusuri kembali keberadaanya.
5) Lebih terbuka dalam menghadapi sesuatu yang membahayakan atau mengerikan dengan segera mengalihkan pikiran-pikiran tersebut.
6) Mampu menghadapi masalah hidup dan berusaha untuk mencari jalan keluarnya.
7) Dalam menangani situasi hidup lebih baik berdiri di atas kaki sendiri.
8) Seseorang harus menerima kesempurnaannya dan keterbatasannya, dengan keterbatasan manusiawi, daripada terus menerus mencari kesempurnaan yang tak pernah dicapainya.
9) Di dalam mencapai kebahagiaan hidup senantiasa melalui usaha keras, berjuang, dan akhirnya pasrah.
10) Seseorang harus belajar dari masa lalunya, tetapi jangan terpaku pada peristiwa masa lalu.
11) Seseorang memandang kekurangan orang lain sebagai kekurangan mereka sendiri, dan jangan memandang dirinya sendiri sebagai kekurangan orang lain.
12) Seseorang hendaknya bisa mengendalikan terhadap emosi.
4. Kondisi-Kondisi Pengubahan
Telah banyak kajian yang menyatakan bahwa konseling rasional-emotif terapi menyerupai proses pendidikan atau pengajaran untuk membantu individu yang bermasalah, utamanya individu yang terganggu oleh pikiran-pikiran irasionalnya, agar ia mampu mengarahkan pikiran yang rasional-ilmiah. Melalui konseling, konselor bermaksud membawa individu menjadi pribadi sehat atau normal atau ideal. Sudah barang tentu diperlukan kondisi-kondisi khusus yang menunjang bagi tercapainya tujuan tersebut.
Bilamana kita bicarakan kondisi dalam konseling, terkait langsung dengan komponen-komponen yang berinteraksi: hakekat konseling, konselor, klien, situasi dan tujuan yang bagaimana merupakan prasyarat bagi timbulnya perubahan.
1. Hakekat konseling
Ada beberapa karakteristik konseling yang perlu dipertimbangkan bagi timbulnya perubahan, yakni:
a. Prosedur ilmiah., didalam hubungan konseling rasional-emotif terapi ini dilakukan dalam proses formal, berstruktur, dan berencana. Prosedur ini terutama sekali diterapkan untuk menantang falsafah yang cenderung mengalahkan diri sendiri dan anggapan irasional yang tidak dapat dibuktikan, tepatnya pada proses kepribadian komponen.
b. Proses edukatif-reedukatif, pada dasarnya rasional-emotif terapi menekankan penataan kembali kognisi (pandangan) dan sangat bergantung pada sisi didaktik dalam proses teraupetiknya. Konseling dipandang secara luas sebagai upaya mendidik atau menstruktur kembali emosi dan intelektual yang selama ini dianggap kurang logik. Karenanya mengimplikasikan bahwa peran konselor sebagai guru, dan model bagi kliennya.
c. Rational-emotif terapi menekankan proses insight, didalam proses penyembuhan, perbaikan ataupun perubahan maka harus dilalui suatu tahapan atau proses insight. Ada tiga tahapan insight, yaitu: 1) klien menjadi sadar bahwa ketakutan terhadap pacarnya selalu berusaha untuk mendominasi dirinya, 2) klien menjadi sadar bahwa ketakutan itu bersumber dari keyakinan yang keliru, karena dialah yang sering menyuntikan self-verbalization dalam dirinya, seperti: “pacar saya sering marah”, pacar saya tidak pernah memberikan kebebasan”, “pacar saya orangnya keras”, dan 3) munculnya kesadaran klien bukan jalan keluar untuk mengubah keyakinannya tentang ketakutannya, kecuali dengan jalan mengadakan counter propaganda oleh dirinya sendiri.
d. Aktif-directif, artinya dalam hubungan konseling, konselor lebih aktif dalam membantu mengarahklan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya karena itu teknik-teknik yang digunakan dalam konseling, seperti: persuasi, pekerjaan rumah, pengendalian diri, metode mengajar, dan sebagainya. Selanjutnya rational-emotif terapi lebih menekankan pada situasi sekarang dan di sini, sebagaimana yang dianut oleh ancangan Rogerian.
e. Kognitif-rasional, artinya hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pada pemecahan masalah yang rasional.
f. Emotif-eksperiensial, artinya hubugan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinannya yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
g. Behavioristik, artinya hubungan yang dibentuk harus menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan perilaku dalam diri klien. Bahwa rational- emotif terapi menganggap insight saja tidaklah cukup melainkan perubahan ini diikuti oleh aksi atau perbuatan.
h. Kondisional, artinya hubungan dalam rational-emotif terapi dilakukan dengan membuat kondisi-kondisi tertentu terhadap klien melalui berbagai teknik kondisioning untuk mencapai tujuan konseling.
2. Konselor.
Seperti kita ketahui, kegiatan utama konseling rational-emotif terapi adalah membebaskan klien dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang tidak logis dalam dirinya. Hal ini berarti dibantu dengan jalan melatih dan mengajarnya untuk menginternalisasi nilai-nilai dan pandangan hidup rasional. Dalam hal ini konselor mempunyai peran sebagai: 1) guru, yakni mengajar klien untuk mengubah pola berpikir yang irasional kearah pemikiran yang rasional, 2) ahli bahasa, peran ini diperlukan sekali terutama membantu klien untuk menggunakan bahasa dengan baik pada saat diperlukan menimbulkan pikiran-pikiran yang logik, 3) modeling, konselor hendaknya menjadi model-contoh, panutan-bagi klien teruitama mengoperasionalisasikan pola berfikir yang rasional, 4) penasehat, peran ini diperlukan bagi konselor berorientasi kognitif, terutama menunjukkan pemikiran-pemikiran klien yang ilogik, 5) counter propagandis, diperlukan untuk menantang self-defeating klien. Dalam fungsinya konselor bertugas mendorong memberikan persuasi, dan pada saat tertentu menugaskan klien untuk mengambil alih peran konselor sebagai counter-propagandis dan klien sendirilah yang melawan self- defeating dalam dirinya sendiri.
Berikut ini disajikan tugas-tugas spesifik konselor rational-emotif terapi, yaitu:
Langkah pertama, konselor perlu memperlihatkan dan menunjukkan kepada klien bahwa masalah atau kesulitan yang dihadapinya sangat berhubungan dengan keyakinannya yang irasional dan menunjukkan bagaimana klien harus mengembangkan nilai dan sikapnya dengan mencoba memberikan wawasan dengan menunjukkan berbagai istilah seperi: should, ougth, dan must. Dalam hal ini klien harus belajar memisahkan keyakinannya yang rasional dengan keyakinannya yang irasional.
Langkah kedua, setelah klien menyadari keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa gangguan emosional dalam dirinya disebabkan oleh sikap, persepsi dan penilaian terhadap dirinya yang tidak rasional maka konselor menunjukan kepada klien bahwa berfikir yang ilogis sebenarnya adalah sumber dari gangguan terhadap kepribadiannya, namun hal tersebut dapat diubah dengan membuat dan mengubah keyakinannya dengan pandangan-pandangan baru yang logik dan rasional.
Langkah ke tiga, konselor mencoba mengarahkan klien untuk berfikir dan membebaskan dari ide-ide yang irasional. Pada langkah ini konselor harus menolong klien untuk memahami hiubungna antara ide-ide yang merusak dirinya sendiri dan pandangan yang tidak realistik yang membawa ke arah proses menyalahkan diri sendiri.
Langkah ke empat, dalam proses konseling, konselor menantang klien untuk mengembangkan filosofi hidupnya yang rasional dan mencoba untuk menolak keyakinan-keyakinan yang irasional.
3. Klien
Peran klien dalam rational-emotif terapi hampir sama dengan seorang “siswa”. Proses konseling dapat dipandang sebagai proses “re-edukatif” yang mana klien belajar cara mengaplikasikan pemikiran logis untuk memecahkan masalahnya. Pengalaman yang harus dimiliki klien ialah pengalaman masa kini dan di sini (here dan now experiences) dan kemampuan klien untuk mengubah pola berpikir dan emosinya yang keliru. Adapun pengalaman yang sentral adalah bagaiman ia menemukan kesadaran diri dan pemahaman (insight). Kesadaran diri dan pemahaman (insight)
4. Situasi hubungan
Ancangan konseling apapun isu personal memegang peranan penting. Namun pengertian personal dalam rational-emotif terapi agak berbeda dengan model konseling lain. menurut rational emotif-terapi; personal warmth, affection, dan hubungan personal antara konselor dan klien bersifat intensif adalah sekunder. Rational-emotif terapi mensyaratkan bahwa hubungan konseling perlu menciptakan hubungan baik antara klien dan konselor (good rapport).
Adapun sifat-sifat hubungan yang dianggap penting, yaitu:
1) Pertautan hubungan yang baik (good rapport)
2) Gaya hubungan dalam rational-emotif terapi harus aktif, direktif, dan objektif.
3) Dalam hubungan konseling, rational-emotif terapi menekankan pentingnya full tolerance, dan unconditioning positive regard
4) Secara terus menerus konselor perlu menerima diri klien sebagai seorang worth while human being (manusia hidup bermarkat dan bernilai), karena the client exist dan bukan karena the client accomplishments.
5. Tujuan konseling
a. Tujuan umum
1) Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan dan pandangan-pandangan yang irasional dan ilogis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya, meningkatkan aktualisasinya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan efektif yang positif.
2) Menghilangkan gangguan emosional yang merusak diri sendiri, seperti: rasa benci, rasa takut, bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, was-was, dan marah sebagai konsekwensi keyakinan yang keliru dengan jalan mengajar dan melatih klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan, serta nilai-nilai kemampuan diri sendiri.
b. Tujuan khusus
Disamping tujuan di atas, Ellis merinci tujuan khusus konseling dalam rangka mencapai pribadi sehat sebagai berikut:
1) Self-interest – social-interest, yaitu memberikan kemungkinan kepada klien untuk mereorganisasikan persepsinya sendiri terhadap dirinya sehingga menumbuhkan diri sekaligus minat sosial individu.
2) Self-direction,yaitu mendorong klien untuk mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti bahwa klien harus menghadapi kenyataan-kenyataan hidupnya dengan tanggung jawab sendiri bukan bergantung atau minta bantuan orang lain.
3) Tolerance, tujuannya yaitu mendorong dan membangkitkan rasa toleransi klien terhadap orang lain, meskipun ia bersalah. Menghargai orang lain sangat diperlukan karena tidak ada orang yang sempurna di dunia ini.
4) Acceptance of uncertaintly, yaitu memberikan pemahaman yang rasional kepada klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara logis dan tidak emosional.
5) Flexible, yaitu mendorong klien agar luwes dalam bertindak secara intelektual, terbuka terhadap suatu masalah sehingga dapat diperoleh cara-cara pemecahannya yang mendatangkan kepuasan kepada klien sendiri.
6) Commitment, yaitu membangkitkan sikap objektivitas dan komitmen klien untuk menjaga keseimbangan dalam lingkungannya.
7) Scientific thinking, yaitu berfikir rasional dan objektif, bukan hanya terhadap orang lain melainkan juga terhadap dirinya sendiri.
8) Risk-thinking, yaitu mendorong dan membangkitkan sikap keberanian dalam diri sendiri (klien) untuk mengubah nasibnya melalui kehidupan yang nyata, meskipun belum tentu berhasil. Keberanian ini sangat penting dalam menanamkan kepercayaan diri kepada klien untuk menghadapi masa depan.
9) Self-acceptance, penerimaan diri terhadap kemampuan dan keyakinan diri sendiri dengan rasa gembira dan senang secara eksistensial adalah sikap positif dan merupakan sasaran bagi konseling rational-emotif terapi pula.
6. Mekanisme penggubahan
Konseling rasional-emotif terapi sebagai suatu proses yang rasional. Di dalam proses tersebut, konselor harus menciptakan suasana yang hangat dan penuh pengertian, dan yang paling penting adalah menumbuhkan pengertian klien bahwa mereka harus berpikir secara rasional intelektual menurut dirinya sendiri. Untuk dapat memahami maksud dan tujuan konseling, lebih lanjut Ellis juga mengemukakan teknik-teknik dalam konseling yang perlu digunakan dan dipahami oleh konselor.
Dalam tahap-tahap konseling, Ellis mengajukan prosedur umum dalam konseling, individu maupun kelompok, yang juga bisa di sebut tahap-tahap konseling atau prinsip-prinsip konseling. Tahap-tahap atau prinsip konseling tersebut terdiri dari empat tahap yang dapat digunakan secara fleksibel, bergantung kepada kebutuhan klien. Ke empat tahapan tersebut merupakan urut-urutan logis yang menggambarkan langkah-langkah yang lazim dalam dunia psikoterapi dan di dunia pengetahuan.
1. Tahap pembinaan hubungan
Hubungan baik (good rapport) antara konselor dan klien memang merupakan prasyarat keberhasilan konseling. Untuk dapat menciptakan hubungan baik, konselor perlu: 1) menerapkan sikap dasar (penerimaan, suasana hangat, ramah, akrab, dan penuh toleran), 2) menciptakan suasana pendukung (suasana informal-objektif, dan suasana rapport), dan 3) membuka sesi pertama atau perbincangan awal (menanyakan kerisauan, meminta respon atau keterangan, dan menggalinya).
2. Tahap pengelolaan pemikiran dan pandangan
Tahap ini secara konsekuensial peran konselor ialah: 1) mengidentifikasi, menerangkan, dan menunjukkan masalah (A-B-C) yang dihadapi klien dengan keyakinan yang irasionalnya, 2) mengajar dan memberikan informasi (menjelaskan kepada klien seluk beluk kerisauannya, yaitu menjelaskan B—Bi dan Br–, serta peranan A dan C didalamnya, 3) mendiskusikan masalah (menunjukkan arah perubahan dari Bi ke Br—mendiskusikan dan menetapkan tujuan konseling yang bersangkutan yaitu apa yang ingin dicapai dalam konseling, dan 4) menerapkan berbagai teknik debate dan dispute, seperti: mempropagandakan berfikir ilmiah, mengkonfrontasikan dan menantang, menstruktur kognitif dan menghentikan cara berpikir lama (Bi).
3. Tahap pengelolaan emotif atau efektif
Sebagai kelanjutan tahap kedua di atas, konselor memusatkan perhatiannya pada “menggarap emosi atau afeksi “ klien sebagai kondisi pendukung kemantapan perubahan Bi ke arah br. Dalam tahap ini konselor ialah: (1) meminta kesepakatan penuh kepada klien atas perubahan dan “perubahan-perubahan kecil” yang telah terjadi pada diri klien, (2) ada pernyataan telah terjadi sejumlah kognitif maupun afektif sekalipun kecil, dan (3) sikap emosional dihadapkan pada tahap pengelolaan perilaku tampak klien. Pada tahap ini konselor: 1) Menganjurkan klien untuk berbuat dan memberikan nasehat, 2) Menunjukkan contoh perilaku cocok, pantas, atau teknik modeling, serta mengajak klien mengikuti contoh, 3) mengajak klien dalam latihan-latihan keasertifan, dan 4) mengajak dan “menuntun” klien merumuskan kalimat-kalimat rasional untuk “atribut” dirinya, atau berbisik-diri”.
4. Tahap pengelolaan tingkah laku
Jikalau sudah ditampakkan oleh klien isyarat bahwa ia (1) Sepakat atas arah perubahan, (2) Ada pernyataan telah terjadi sejumlah perubahan kognitif maupun afektif sekalipun kecil, dan (3) Sikap emosional dihadapkan pada perubahan perilaku, maka konselor siap masuk pada tahap pengelolaan perilaku tampak klien. Pada tahap ini konselor : (1) Menganjurkan klien untuk berbuat dan memebrikan nasihat, (2) Menunjukkan contoh perilaku cocok, pantas, atau teknik modeling, serta mengajak klien contoh, (3) Mengajak klien dalam latihan-latihan keasertifan, dan (4) mengajak dan menuntun klien merumuskan kalimat-kalimat rasional untuk atribut dirinya, atau berisik didik.

Teknik Konseling yang dipakai dalam RET
Berdasarkan pada hakekat konseling rasional-emotif terapi serta tahap-tahap yang dilakukan dalam prosesnya, maka rational-emotif terapi mengembangkan dan mengaplikasikan teknik-teknik khusus konseling. Menurut pengelompokkannya, teknik-teknik yang digunakan oleh rational-emotif terapi teridiri atas:
1. Teknik-teknik emotif-eksperiensial/evokatif
Teknik ini dipakai untuk mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan emosional atau perasaan yang merusak diri sendiri (self-defiating), yakni:
1) Teknik assertive training, yaitu teknik yang dipakai untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien agar secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan pola perilaku tertentu yang diinginkan.
2) Teknik sosiodrama, yaitu teknik yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien (terutama perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sehingga klien bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulis maupun melalui gerakan-gerakan dramatis. Teknik ini dilakukan untuk melatih perilaku verbal dan non verbal yang diharapkan dari siswa. Dengan teknik ini diperlukan seorang konselor yang ahli di bidang bahasa.
3) Teknik self-modeling, yaitu teknik yang digunakan dengan meminta klien berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. Dalam teknik modeling ini klien diminta terus-menerus menghindarkan dirinya dari perilaku negatif.
4) Teknik imitasi, yaitu teknik yang digunakan dimana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus model perilaku tertentu dengan maksud mengkonter perilakunya sendiri yang negatif.
2. Teknik-teknik kognitif.
Teknik-teknik berikut ini memegang peran utama dalam ancangan rational-emotif terapi. Teknik ini digunakan untuk mengkonter sistem keyakinan (anggapan) yang irasional klien serta perilaku-perilakunya yang negatif. Dengan teknik ini didorong, dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berfikir dengan cara rasional dan logis. Dengan demikian klien dapat berbuat sesuai dengan sistem nilai yang diharapkan baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkungannya. Berikut ini merupakan teknik-teknik kognitif yang cukup dikenal, yaitu:
1) Home work assignments, teknik ini merupakan prasyarat baagi konseling selanjutnya. Dalam teknik ini klien diberi tugas-tugas rumah untuk berlatih membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menentukan pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide atau perasaan-perasaan irasional dalam situasi-situasi tertentu, mempraktikan respon-respon tertentu, berkonfrontasi dengan self-verbalisasinya yang mendahuilui, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya (pandangannya) yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Adapun pelaksanaanya harus dilaporkan oleh klien kepada konselor pada sesi berikutnya. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap bertanggung jawab, percaya pada diri sendiri, kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, mengelola diri, mengurangi ketergantungan klien kepada konselor serta memberi kemungkinan klien bisa mengevaluasi kemajuan dalam mempraktikan keterampilan-keterampilan baru atau perilaku tertentu dalam situasi kehidupan nyata.
2) Teknik bibliotherapy, teknik ini digunakan untuk membongkar akar-akar keyakinan yang irasional dan ilogis dalam diri klien serta melatih klien berfikir rasional dan logis dengan mempelajari bahan-bahan yang dipilih dan ditentukan oleh konselor. Teknik ini dilakukan dengan menugaskan klien ke perpustakaan atau mempelajari bahan bacaan yang tersedia di rumah.
3) Teknik diskusi, teknik ini hampir sama dengan teknik di atas namun dilakukan dalam suatu kelompok diskusi. Melalui teknik ini klien dapat mempelajari pengalaman-pengalaman orang lain serta dapat menimba berbagai informasi yang dapat mempengaruhi dan mengubah keyakinan serta cara berfikir yang irasional dan tidak obyektif.
4) Teknik simulasi, teknik ini digunakan untuk memberi kemungkinan kepada klien mempraktekan perilaku-perilaku tertentu melalui kondisi simulatif yang mendekati kenyataan.
5) Teknik gaming, teknik ini digunakan untuk melatih klien menempatkan pada peran tertentu.
6) Teknik paradoxical intention, teknik ini mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan teknik counter-conditioning. Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa seseorang yang mulai memperlihatkan keinginan atau hasrat yang tidak baik dengan sendirinya akan menjadi “jera” dengan jalan menciptakan kondisi yang hiperintention, yakni mempertinggi hasrat atau keinginan itu sehingga dalam titik kulminasi tertentu orang tersebut pasti akan bisa menghilangkan keinginannya sama sekali.
7) Teknik assertive, teknik ini digunakan untuk melatih keberanian diri klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui: role-playing, rehaarsial, dan social-modeling. Sedang maksud utama teknik ini adalah untuk (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya, (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak orang lain, (c) mendorong kepercayaan serta kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri.